Malas itu
penyakit !
Malas adalah tangga dari sebab penyesalan, setiap langkah yang
dilalui bersamanya akan mendatangkan penyesalan dan ia hanya akan menjadi
parasit pada setiap jiwa yang dihinggapi. Entah begitu banyak waktu yang hilang
tanpa hasil diakibatkan sifat ini, padahal kita semua tahu bahwa waktu adalah
investasi kebahagiaan setiap orang. Oleh karena itu sangat besar bahaya malas
yang mengintai kita dan oleh sebab itu, kita semua perlu melawan dan melindungi
diri dari penyakit malas yang siap menghampiri, dan disadari atau tidak, pasti
setiap orang pernah mengalami sifat ini.
Tetapi jika diteliti dan dipahami melalui pandangan akal
sehat, sifat ini perlu di keluarkan dari dalam diri seseorang, atau kelak
penyakit ini akan menjatuhkan pada kesengsaraan jangka panjang, malas memiliki
banyak ragamnya seperti malas dalam belajar, malas dalam bekerja ataupun malas
dalam beribadah. Penyebab malas dapat disebabkan oleh lingkungan hidup yang
serba mudah, sikap bersantai dan perilaku bersenang-senang.
Solusi dari masalah
ini tentunya ialah dengan memacu target-target yang dapat membangkitkan gairah
produktifitas ataupun dengan menciptakan pola pikir anti malas, karena seorang yang
berakal akan memperhatikan dampak dari tindakan yang dilakukan. Ketika malas
telah menjadi bagian dari kepribadian, maka tentu ia akan menjadikan setiap
orang kaya menjadi miskin, menjadikan setiap kesuksesan sebagai angan semu dan
menelantarkan diri pada kemiskinan dan kesengsaraan. Maka karena itu cara
terbaik menghilangkan malas adalah memacu dan memicu waktu dengan
sebaik-baiknya dalam produktifitas dan kebaikan, karena satu detik waktu yang
berlalu tidak akan pernah kembali.
Perlu diketahui bahwa Allah subhanahu wa
ta’ala menjadikan manusia dengan akal dan hati, sehingga dapat menentukan
tindakan dan dampak baginya kelak.
Berikut penulis sajikan kisah,
semoga bermanfaat dan kita semua dapat mengambil hikmahnya, aaaaminn.
Kisah Si Pemalas Dengan Abu Hanifah
Suatu hari ketika Imam Abu Hanifah sedang
berjalan-jalan melalui sebuah rumah yang jendelanya masih terbuka, terdengar
oleh beliau suara orang yang mengeluh dan menangis tersedu-sedu. Dia mengeluh,
“Aduhai, alangkah malangnya nasibku ini, sepertinya tiada seorang pun yang
lebih malang dari nasibku yang celaka ini. Sejak dari pagi tadi belum datang
sesuap nasi atau makanan pun di kerongkonganku sehingga seluruh badanku menjadi
lemah lunglai. Oh, manakah hati yang belas kasihan yang sudi memberi curahan
air walaupun setitik.
Mendengar keluhan itu, Abu Hanifah berasa kasihan lalu
beliau pun balik ke rumahnya dan mengambil bungkusan hendak diberikan kepada
orang itu. Ketika dia sampai ke rumah orang itu, dia terus melemparkan
bungkusan yang berisi uang kepada si malang tadi lalu meneruskan perjalanannya.
Kemudian, si malang merasa terkejut setelah mendapati sebuah bungkusan yang
tidak diketahui dari mana datangnya, lantas dia tergesa-gesa membukanya.
Setelah dibuka, nyatalah bungkusan itu berisi uang dan secarik kertas yang
bertulis, ” Hai manusia, sungguh tidak wajar kamu mengeluh sedemikian itu, kamu
tidak pernah atau perlu mengeluh diperuntungkan nasibmu. Ingatlah kepada
kemurahan Allah dan cobalah bermohon kepada-Nya dengan bersungguh-sungguh.
Jangan suka berputus asa, hai kawan, tetapi berusahalah terus.”
Pada keesokan harinya, Imam Abu Hanifah melalui lagi
rumah itu dan suara keluhan itu terdengar lagi, “Ya Allah Tuhan Yang Maha
Pengasih dan Pemurah, sudilah kiranya memberikan bungkusan lain seperti kemarin,
sekedar untuk menyenangkan hidupku yang melarat ini. Sungguh jika Tuhan tidak
beri, akan lebih sengsaralah hidupku”
Mendengar keluhan itu lagi, maka Abu Hanifah pun lalu
melemparkan lagi bungkusan berisi uang dan secarik kertas dari luar jendela itu,
lalu dia pun meneruskan perjalanannya. Orang itu terlalu riang ketika mendapat
bungkusan itu. Lantas terus membukanya.
Seperti dahulu juga, di dalam bungkusan itu tetap ada
secarik kertas lalu dibacanya,
“Hai kawan, bukan begitu cara bermohon, bukan demikian cara berikhtiar dan berusaha. Perbuatan demikian “malas” namanya. Putus asa kepada kebenaran dan kekuasaan Allah. Sungguh tidak ridha Allah melihat orang pemalas dan putus asa, enggan bekerja untuk keselamatan dirinya. Jangan….jangan berbuat demikian. Jika anda ingin senang, anda harus suka pada bekerja dan berusaha karena kesenangan itu tidak mungkin datang sendiri tanpa dicari atau diusahakan. Orang hidup tidak disuruh duduk diam dan tidak seharusnya demikian pula tetapi harus bekerja dan berusaha. Allah tidak akan perkenankan permohonan orang yang malas bekerja. Allah tidak akan mengkabulkan doa orang yang berputus asa. Oleh sebab itu, carilah pekerjaan yang halal untuk kesenangan dirimu. Berikhtiarlah sedapat mungkin dengan pertolongan Allah. Insya Allah, akan dapat juga pekerjaan itu selama kamu tidak berputus asa. Nah…carilah segera pekerjaan, saya doakan cepat berjaya.”
“Hai kawan, bukan begitu cara bermohon, bukan demikian cara berikhtiar dan berusaha. Perbuatan demikian “malas” namanya. Putus asa kepada kebenaran dan kekuasaan Allah. Sungguh tidak ridha Allah melihat orang pemalas dan putus asa, enggan bekerja untuk keselamatan dirinya. Jangan….jangan berbuat demikian. Jika anda ingin senang, anda harus suka pada bekerja dan berusaha karena kesenangan itu tidak mungkin datang sendiri tanpa dicari atau diusahakan. Orang hidup tidak disuruh duduk diam dan tidak seharusnya demikian pula tetapi harus bekerja dan berusaha. Allah tidak akan perkenankan permohonan orang yang malas bekerja. Allah tidak akan mengkabulkan doa orang yang berputus asa. Oleh sebab itu, carilah pekerjaan yang halal untuk kesenangan dirimu. Berikhtiarlah sedapat mungkin dengan pertolongan Allah. Insya Allah, akan dapat juga pekerjaan itu selama kamu tidak berputus asa. Nah…carilah segera pekerjaan, saya doakan cepat berjaya.”
Sehabis dia selesai membaca surat itu, dia termenung,
dia insaf dan sadar akan kemalasannya yang selama ini dia tidak suka berikhtiar
dan berusaha.
Pada keesokan harinya, dia pun keluar dari rumahnya
untuk mencari pekerjaan. Sejak dari hari itu, sikapnya pun berubah mengikuti
peraturan-peraturan hidup (Sunnah Allah) dan tidak lagi melupakan nasihat orang
yang memberikan nasihat itu.
"Dalam Islam tiada istilah pengangguran, istilah ini
hanya digunakan oleh orang yang berakal sempit. Islam mengajarkan kita untuk
maju ke depan dan bukan mengajarkan kepada kita diam di tepi jalan".
sumber kisah pengusahamuslim.com
Ditulis:
26 Dzulhijjah 1437 Hijriah
28
September 2016 Masehi
Pukul:
23:52
EmoticonEmoticon