Melatih
Diri
SEHAT ITU FITRAH, sementara sakit
itu petaka yang muncul tiba-tiba. Setiap manusia dilahirkan dengan fitrah. Jadi,
riyadhah atau melatih diri hanya bisa dilakukan ketika kondisi sedang
normal. Tak adanya gunanya melatih diri yang sedang ‘liar’. Binatang buas,
bagaimanapun sudah di didik pada waktu kecil, setelah besar tetaplah buas.
Dalam diri setiap manusia
terpendam tiga potensi atau kekuatan : nalar, nafsu dan amarah. Orang yang diberi anugerah kemuliaan ilmu
oleh ﷲ tentu
berusaha untuk mengembangkan potensi nalarnya hingga ke titik sempurna. Sebab,
potensi inilah yang menjadikan manusia lebih utama dalam pandangan ﷲ
dibandingkan dengan binatang, sekaligus lebih menyerupai Malaikat. Disamping itu,
potensi ini juga menjadi pengendali bagi dua potensi lainnya, yakni potensi
nafsu dan amarah. Kedudukannya dalam diri manusia ibarat penunggang kuda. Karena
itu, ia harus mampu mengendalikan kuda itu ke arah mana yang ia inginkan. Bahkan,
jika perlu ia bisa memberinya pelajaran.
Begitulah, potensi nalar mesti mengungguli potensi lainnya, menggunakan dan
menahan sesuai kehendaknya. Inilah tipe manusia sejati, manusia sebenar-benar
manusia.
Plato mengatakan, “ Manusia
sejati adalah manusia yang menjadikan potensi nalarnya sebagai potensi dominan ”.
artinya, jika potensi nafsu yang melampaui, berarti ia telah keluar dari watak
kemanusiannya, turun ke watak kebinatangan. Barang siapa melepas hawa nafsunya di
padang gembala, lalu membuka kendalinya, berarti ia telah lepas dari jati
dirinya dan lebih rendah kedudukannya dibanding binatang. Sebab, watak
kebinatangan yang sejatinya ia lawan, malah dijadikannya wataknya. Demikian pula,
apabila manusia dikuasai potensi amarah, ia akan menjadi binatang buas atau
pemangsa yang kelaparan.
Karena itu, setiap manusia mesti
melatih diri untuk memerangi potensi nafsu, menkalukan potensi amarah,
mengikuti potensi nalar, sehingga ia mendekati Malaikat, dan terbebas dari perbudakan
nafsu maupun amarah.
******
Melatih diri harus dilakukan
secara pelan-pelan, setahap demi setahap, tak perlu terlalu keras-keras atau
terlalu ketat. Biarkan diri kadang ingin, kadang enggan. Namun demikian, upaya
melatih diri ini dapat dibantu dengan banyak cara ; banyak bergaul dengan
orang-orang pilihan, menjauhi orang-orang jahat, mengkaji Al-Quran dan Hadits,
merentangkan pikiran ke Surga dan Neraka, dan meneliti biografi orang-orang
bijak dan ahli zuhud.
Seorang Ulama Salaf sangat
menyukai makan buah manis. Maka ia siapkan buah manis itu dan memakannya setiap
selesai mengerjakan sholat malam.
Al-Tsawri makan apa saja yang ia
inginkan, tetapi ia menjalani ibadahnya sepanjang malam hingga Subuh. Setelah itu
ia akan berkata,
“ Orang
Negro menyuapi anaknya”.
Demikianlah ahli hakikat melatih
diri secara berproses, sampai akhirnya mereka mampu menguasai dan menundukkannya.
Seseorang tetangga Malik ibn Dinar bercerita. “ suatu malam aku mendengar Malik
ibn Dinar berbicara sendiri,‘ nah begini seharusnya! ’. keesokan paginya aku
bertanya, ‘ Saya lihat tak seorangpun dirumahmu tadi malam. Lalu, dengan siapa
kamu bicara? ’ ia menjawab, ‘ Nafsu dalam diriku minta makan, tetapi aku
menolaknya. Lalu ku haramkan ia makan tiga hari tiga malam. Setelah tiga hari terlewati,
malamnya aku menemukan sesobek roti kering. Aku bergegas menghampirinya, dan
kukatakan pada nafsuku, ‘tenanglah ! ini, kamu kuberi sepotong roti basah,
makanlah !’ ia menjawab ‘cukup!’ dan Aku berkata ‘Nah, begini!’.
Jika nafsu mendapati dirimu giat,
ia akan giat. Tetapi, jika ia mendapati dirimu malas, ia ingin agar engkau
malas, sebagai diungkap syair :
Begitu seorang dermawan
Mengenal sifat
kedermawanan
Ia akan ketagihan dan
takut kehilangan.
Cara lain untuk melatih diri
adalah mengintrospeksi diri setiap perbuatan dan perkataan, dosa dan
kekurangan. Manakala latihan ini sempurna, diri akan memuji jerih payah yang
sebelumnya ia caci-maki. Berkata Tsabit al-Banani, “ Dua puluh tahun lamanya ku
arungi malam dengan penderitaan, dua puluh tahun kemudian kujalani malam dengan
kebahagiaan.” Berkata pula Abu Yazid, “tak henti-hentinya kusetir diriku menuju
ﷲ seraya
menangis, sampai akhirnya aku tertawa.”
Senada
dengan itu, seorang penyair menulis :
Setiap
mata terbuka
Tak
henti-hentinya kumenangis dan tertawa
Sampai
kubilas bulu mataku dengan darah
Tetapi setelah itu, jangan
lupa memenuhi apa yang menjadi haknya, antara lain memenuhi apa saja
keinginannya asal tidak tercela, dan tidak menghalangi tercapainya riyadhah.
Sebab, jika semua keinginannya dicegah, hati akan buta, semangat akan
mengendor, ibadah pun dilakukannya dengan terpaksa. Bukankah porsi diri di sisi
ﷲ lebih besar dibanding
porsi ibadah? Itulah sebabnya kenapa ﷲ memberi keringanan
kepada musafir untuk tidak berpuasa. Misteri ini hanya mungkin dipahami oleh
ulama yang benar-benar mendalam ilmunya []
Ditulis
ulang dari buku
-
Ibnu Al-Jauzi –
Penerbit
zaman, halaman 120
EmoticonEmoticon