Kamis, 18 Februari 2016

Melatih Diri

بِسْــــــــــــــــمِ ï·²ِالرَّØ­ْÙ…َÙ†ِ الرَّØ­ِيم





Melatih Diri

SEHAT ITU FITRAH, sementara sakit itu petaka yang muncul tiba-tiba. Setiap manusia dilahirkan dengan fitrah. Jadi, riyadhah atau melatih diri hanya bisa dilakukan ketika kondisi sedang normal. Tak adanya gunanya melatih diri yang sedang ‘liar’. Binatang buas, bagaimanapun sudah di didik pada waktu kecil, setelah besar tetaplah buas.
Dalam diri setiap manusia terpendam tiga potensi atau kekuatan : nalar, nafsu dan amarah.  Orang yang diberi anugerah kemuliaan ilmu oleh ï·² tentu berusaha untuk mengembangkan potensi nalarnya hingga ke titik sempurna. Sebab, potensi inilah yang menjadikan manusia lebih utama dalam pandangan ï·² dibandingkan dengan binatang, sekaligus lebih menyerupai Malaikat. Disamping itu, potensi ini juga menjadi pengendali bagi dua potensi lainnya, yakni potensi nafsu dan amarah. Kedudukannya dalam diri manusia ibarat penunggang kuda. Karena itu, ia harus mampu mengendalikan kuda itu ke arah mana yang ia inginkan. Bahkan, jika  perlu ia bisa memberinya pelajaran. Begitulah, potensi nalar mesti mengungguli potensi lainnya, menggunakan dan menahan sesuai kehendaknya. Inilah tipe manusia sejati, manusia sebenar-benar manusia.
Plato mengatakan, “ Manusia sejati adalah manusia yang menjadikan potensi nalarnya sebagai potensi dominan ”. artinya, jika potensi nafsu yang melampaui, berarti ia telah keluar dari watak kemanusiannya, turun ke watak kebinatangan. Barang siapa melepas hawa nafsunya di padang gembala, lalu membuka kendalinya, berarti ia telah lepas dari jati dirinya dan lebih rendah kedudukannya dibanding binatang. Sebab, watak kebinatangan yang sejatinya ia lawan, malah dijadikannya wataknya. Demikian pula, apabila manusia dikuasai potensi amarah, ia akan menjadi binatang buas atau pemangsa yang kelaparan.
Karena itu, setiap manusia mesti melatih diri untuk memerangi potensi nafsu, menkalukan potensi amarah, mengikuti potensi nalar, sehingga ia mendekati Malaikat, dan terbebas dari perbudakan nafsu maupun amarah.
******

Melatih diri harus dilakukan secara pelan-pelan, setahap demi setahap, tak perlu terlalu keras-keras atau terlalu ketat. Biarkan diri kadang ingin, kadang enggan. Namun demikian, upaya melatih diri ini dapat dibantu dengan banyak cara ; banyak bergaul dengan orang-orang pilihan, menjauhi orang-orang jahat, mengkaji Al-Quran dan Hadits, merentangkan pikiran ke Surga dan Neraka, dan meneliti biografi orang-orang bijak dan ahli zuhud.
Seorang Ulama Salaf sangat menyukai makan buah manis. Maka ia siapkan buah manis itu dan memakannya setiap selesai mengerjakan sholat malam.
Al-Tsawri makan apa saja yang ia inginkan, tetapi ia menjalani ibadahnya sepanjang malam hingga Subuh. Setelah itu ia akan berkata,
“ Orang Negro menyuapi anaknya”.
Demikianlah ahli hakikat melatih diri secara berproses, sampai akhirnya mereka mampu menguasai dan menundukkannya. Seseorang tetangga Malik ibn Dinar bercerita. “ suatu malam aku mendengar Malik ibn Dinar berbicara sendiri,‘ nah begini seharusnya! ’. keesokan paginya aku bertanya, ‘ Saya lihat tak seorangpun dirumahmu tadi malam. Lalu, dengan siapa kamu bicara? ’ ia menjawab, ‘ Nafsu dalam diriku minta makan, tetapi aku menolaknya. Lalu ku haramkan ia makan tiga hari tiga malam. Setelah tiga hari terlewati, malamnya aku menemukan sesobek roti kering. Aku bergegas menghampirinya, dan kukatakan pada nafsuku, ‘tenanglah ! ini, kamu kuberi sepotong roti basah, makanlah !’ ia menjawab ‘cukup!’ dan Aku berkata ‘Nah, begini!’.
Jika nafsu mendapati dirimu giat, ia akan giat. Tetapi, jika ia mendapati dirimu malas, ia ingin agar engkau malas, sebagai diungkap syair :
Begitu seorang dermawan
Mengenal sifat kedermawanan
Ia akan ketagihan dan takut kehilangan.
Cara lain untuk melatih diri adalah mengintrospeksi diri setiap perbuatan dan perkataan, dosa dan kekurangan. Manakala latihan ini sempurna, diri akan memuji jerih payah yang sebelumnya ia caci-maki. Berkata Tsabit al-Banani, “ Dua puluh tahun lamanya ku arungi malam dengan penderitaan, dua puluh tahun kemudian kujalani malam dengan kebahagiaan.” Berkata pula Abu Yazid, “tak henti-hentinya kusetir diriku menuju ï·² seraya menangis, sampai akhirnya aku tertawa.”
Senada dengan itu, seorang penyair menulis :
Setiap mata terbuka
Tak henti-hentinya kumenangis dan tertawa
Sampai kubilas bulu mataku dengan darah
Tetapi setelah itu, jangan lupa memenuhi apa yang menjadi haknya, antara lain memenuhi apa saja keinginannya asal tidak tercela, dan tidak menghalangi tercapainya riyadhah. Sebab, jika semua keinginannya dicegah, hati akan buta, semangat akan mengendor, ibadah pun dilakukannya dengan terpaksa. Bukankah porsi diri di sisi ï·² lebih besar dibanding porsi ibadah? Itulah sebabnya kenapa ï·² memberi keringanan kepada musafir untuk tidak berpuasa. Misteri ini hanya mungkin dipahami oleh ulama yang benar-benar mendalam ilmunya []

Ditulis ulang dari buku
-      Ibnu Al-Jauzi –
Penerbit zaman, halaman 120


EmoticonEmoticon

Entri Populer